"Aku sih klo nyari istri ya harus bisa masak sama ngurus rumah lha. Masa suami udah capek-capek kerja, istri masak aja gak mau?"
"Iihh..cewek koq gak bisa masak sih? Aku sih ogah sama cewek gak bisa masak"
Ups..sounds familiar? Yap...itu sebagian besar perkataan para lelaki di luar sana yang sering terdengar tentang calon istri 'idamannya'.
Sepertinya sudah menjadi syarat mutlak bila seorang perempuan itu harus bisa memasak dan melakukan pekerjaan rumah tangga.
Saya mendapat artikel menarik tentang pandangan tersebut ;).
Spoiler, artikel ini akan agak panjang sedikit :D.
Istri Bukan Pembantu
Rabu, 29 Oktober 2008 11:12
Pertanyaan
Assalamu 'alaikum warahmatullahi wabarakatuh
Ustadz yg dirahmati Allah,
Saya adalah seorang ibu yg pernah mengikuti tausiyah Ustadz ketika mengisi safari Ramadhan di Qatar. Mudah2an Ustadz masih ingat materi "memuliakan istri", ketika itu ustadz menjelaskan kewajiban suami dalam hal nafkah, istri tdk berkewajiban memasak, mencuci, menyetrika dll, (pekerjaan Rmh Tangga), dan dibolehkan meminta hak atas materi kpd suami utk keperluan pribadinya. Apa yg ustadz sampaikan menuai pro kontra diantara kami, apalagi saat itu ustadz tidak secara gamblang menyertakan hadits/ayat Qur'an yg mendasarinya. Pertanyaan saya :
1. Tolong jelaskan hadits/ayat ttg hal tsb diatas, yang rinci ya ustadz.
2. Apakah hal tsb diatas merupakan khilafiyah, diantara para ulama, kalo ya, tolong juga disertakan pendapat2 ulama lainnya.
3. Dalam terjemahan khutbah terakhir Nabi Muhammad SAW, pada saat wukuf diarafah, disebutkan" ...dan berikanlah istrimu makanan dan pakain yang layak," secara bhs Arab samakah arti makanan dan bahan makanan, saya mempunyai persepsi hal itu berbeda, krn makanan adalah siap makan, sedangkan bahan makanan adalah siap olah, tetapi saya ragu, karena ini terjemahan, khawatirnya saya salah persepsi.
Terima kasih atas jawabannya, semoga masalah ini menjadi lebih jelas dan kami senantiasa diberi hidayah utk senantiasa ridho dg ketetapan Allah. Amin
Wassalamu 'alaikum warahmatullahi wabarakatuh
Widia
Jawaban
Assalamu 'alaikum warahmatullahi wabarakatuh,
Apa kabar ibu-ibu sekalian, semoga sehat-sehat ya. Saya mengucapkan terima kasih yang sebesarnya-besarnya atas semua yang telah disiapkan oleh ibu-ibu di Doha Qatar dan di kota-kota lainnya, dalam kesempatan ber-Ramadhan selama saya disana. Semoga Allah SWT membalas semua kebaikan ibu-ibu. Dan saya mohon maaf kalau ada hal-hal yang sekiranya kurang berkenan di hati dan juga merepotkan.
Tentang materi 'memuliakan istri' itu, memang saya mendengar bahwa sempat para bapak komplain, ya. Karena ternyata 'kenikmatan' para bapak selama ini jadi seperti agak dipertanyakan dasarnya.
Sebenarnya bahwa seorang wanita tidak wajib memberi nafkah, baik makanan, minuman, pakaian dan juga tempat tinggal, bukan hal yang aneh lagi. Semua ulama sudah tahu sejak kenal Islam pertama kali. Dan pemandangan itu juga pasti ibu-ibu lihat di Qatar kan. Coba, ibu bisa lihat di pasar dan supermarket di Doha, yang belanja itu bapak-bapak kan? Bukan ibu-ibu, ya?
Nah itu saja sudah jelas kok, bahwa kewajiban memberi makan adalah bagian dari kewajiban memberi nafkah. Dan yang keluar belanja mengadakan kebutuhan rumah sehari-hari yang para suami, bukan para istri. Ibu-ibu kan lihat sendiri di Doha.
Saya sendiri selama di Doha diajak masuk ke tiga mal besar, salah satunya saya masih ingat, Belagio. Nah, saat saya di dalam ketiga mal itu, umumnya saya ketemu dengan laki-laki. Perempuan sih ada, tapi biasanya sama suaminya. Jadi yang belanja kebutuhan sehari-hari bukan ibu, tapi bapak.
Bahkan pertemuan wali murid di sekolah di Doha pun, bukan ibu-ibu yang hadir, tapi bapak-bapaknya. Ini juga menarik, sebab kebiasaan kita di Indonesia, kalau ada pertemuan orang tua / wali murid, yang datang pasti ibu-ibu. Bapak-bapaknya tidak harus dengan alasan pada kerja. Tapi di Doha, yang datang bapak-bapak dan meetingnya dilakukan malam hari, selepas bapak-bapak pulang kerja.
Mana Ayat Quran atau Haditsnya?
Ya, terus terang tidak ada ayat yang menjelaskan sedetail itu, begitu juga dengan hadits nabawi. Maksudnya, kita akan menemukan ayat yang bunyinya bahwa yang wajib masak adalah para suami, yang wajib mencuci pakaian, menjemur, menyetrika, melipat baju adalah para suami.
Kita tidak akan menemukan hadits yang bunyinya bahwa kewajiban masak itu ada di tangan suami. Kita tidak akan menemukan aturan seperti itu secara eksplisit.
Yang kita temukan adalah contoh real dari kehidupan Nabi SAW dan juga para shahabat. Sayangnya, memang tidak ada dalil yang bersifat eksplisit. Semua dalil bisa ditarik kesimpulannya dengan cara yang berbeda.
Misalnya tentang Fatimah puteri Rasulullah SAW yang bekerja tanpa pembantu. Sering kali kisah ini dijadikan hujjah kalangan yang mewajibkan wanita bekerja berkhidmat kepada suaminya. Namun ada banyak kajian menarik tentang kisah ini dan tidak semata-mata begitu saja bisa dijadikan dasar kewajiban wanita bekerja untuk suaminya.
Sebaliknya, Asma' binti Abu Bakar justru diberi pembantu rumah tangga. Dalam hal ini, suami Asma' memang tidak mampu menyediakan pembantu, dan oleh kebaikan sang mertua, Abu Bakar, kewajiban suami itu ditangani oleh sang pembantu. Asma' memang wanita darah biru dari kalangan Bani Quraisy.
Dan ada juga kisah lain, yaitu kisah Saad bin Amir radhiyallahu 'anhu, pria yang diangkat oleh Khalifah Umar menjadi gubernur di kota Himsh. Sang gubernur ketika di komplain penduduk Himsh gara-gara sering telat ngantor, beralasan bahwa dirinya tidak punya pembantu. Tidak ada orang yang bisa disuruh untuk memasak buat istrinya, atau mencuci baju istrinya.
Loh, kok kebalik? Kok bukan istrinya yang masak dan mencuci?. Nah itulah, ternyata yang berkewajiban memasak dan mencuci baju memang bukan istri, tapi suami. Karena semua itu bagian dari nafkah yang wajib diberikan suami kepada istri. Sebagaimana firman Allah SWT :
الرِّجَالُ قَوَّامُونَ عَلَى النِّسَاء بِمَا فَضَّلَ اللّهُ بَعْضَهُمْ عَلَى بَعْضٍ وَبِمَا أَنفَقُواْ مِنْ أَمْوَالِهِمْ
Kaum laki-laki itu adalah pemimpin bagi kaum wanita, oleh karena Allah telah melebihkan sebahagian mereka (laki-laki) atas sebahagian yang lain (wanita), dan karena mereka (laki-laki) telah menafkahkan sebagian dari harta mereka. (QS. An-Nisa' : 34)
Pendapat 5 Mazhab Fiqih
Namun apa yang saya sampaikan itu tidak lain merupakan kesimpulan dari para ulama besar, levelnya sampai mujtahid mutlak. Dan kalau kita telusuri dalam kitab-kitab fiqih mereka, sangat menarik.
Ternyata 4 mazhab besar plus satu mazhab lagi yaitu mazhab Dzahihiri semua sepakat mengatakan bahwa para istri pada hakikatnya tidak punya kewajiban untuk berkhidmat kepada suaminya.
1. Mazhab al-Hanafi
Al-Imam Al-Kasani dalam kitab Al-Badai' menyebutkan : Seandainya suami pulang bawa bahan pangan yang masih harus dimasak dan diolah, lalu istrinya enggan unutk memasak dan mengolahnya, maka istri itu tidak boleh dipaksa. Suaminya diperintahkan untuk pulang membaca makanan yang siap santap.
Di dalam kitab Al-Fatawa Al-Hindiyah fi Fiqhil Hanafiyah disebutkan : Seandainya seorang istri berkata,"Saya tidak mau masak dan membuat roti", maka istri itu tidak boleh dipaksa untuk melakukannya. Dan suami harus memberinya makanan siap santan, atau menyediakan pembantu untuk memasak makanan.
2. Mazhab Maliki
Di dalam kitab Asy-syarhul Kabir oleh Ad-Dardir, ada disebutkan : wajib atas suami berkhidmat (melayani) istrinya. Meski suami memiliki keluasan rejeki sementara istrinya punya kemampuan untuk berkhidmat, namun tetap kewajiban istri bukan berkhidmat. Suami adalah pihak yang wajib berkhidmat. Maka wajib atas suami untuk menyediakan pembantu buat istrinya.
3. Mazhab As-Syafi'i
Di dalam kitab Al-Majmu' Syarah Al-Muhadzdzab karya Abu Ishaq Asy-Syirazi rahimahullah, ada disebutkan : Tidak wajib atas istri berkhidmat untuk membuat roti, memasak, mencuci dan bentuk khidmat lainnya, karena yang ditetapkan (dalam pernikahan) adalah kewajiban untuk memberi pelayanan seksual (istimta'), sedangkan pelayanan lainnya tidak termasuk kewajiban.
4. Mazhab Hanabilah
Seorang istri tidak diwajibkan untuk berkhidmat kepada suaminya, baik berupa mengadoni bahan makanan, membuat roti, memasak, dan yang sejenisnya, termasuk menyapu rumah, menimba air di sumur. Ini merupakan nash Imam Ahmad rahimahullah. Karena aqadnya hanya kewajiban pelayanan seksual. Maka pelayanan dalam bentuk lain tidak wajib dilakukan oleh istri, seperti memberi minum kuda atau memanen tanamannya.
5. Mazhab Az-Zhahiri
Dalam mazhab yang dipelopori oleh Daud Adz-Dzahiri ini, kita juga menemukan pendapat para ulamanya yang tegas menyatakan bahwa tidak ada kewajiban bagi istri untuk mengadoni, membuat roti, memasak dan khidmat lain yang sejenisnya, walau pun suaminya anak khalifah.
Suaminya itu tetap wajib menyediakan orang yang bisa menyiapkan bagi istrinya makanan dan minuman yang siap santap, baik untuk makan pagi maupun makan malam. Serta wajib menyediakan pelayan (pembantu) yang bekerja menyapu dan menyiapkan tempat tidur.
Pendapat Yang Berbeda
Namun kalau kita baca kitab Fiqih Kontemporer Dr. Yusuf Al-Qaradawi, beliau agak kurang setuju dengan pendapat jumhur ulama ini. Beliau cenderung tetap mengatakan bahwa wanita wajib berkihdmat di luar urusan seks kepada suaminya.
Dalam pandangan beliau, wanita wajib memasak, menyapu, mengepel dan membersihkan rumah. Karena semua itu adalah imbal balik dari nafkah yang diberikan suami kepada mereka.
Kita bisa mafhum dengan pendapat Syeikh yang tinggal di Doha Qatar ini, namun satu hal yang juga jangan dilupakan, beliau tetap mewajibkan suami memberi nafkah kepada istrinya, di luar urusan kepentingan rumah tangga.
Jadi para istri harus digaji dengan nilai yang pasti oleh suaminya. Karena Allah SWT berfirman bahwa suami itu memberi nafkah kepada istrinya. Dan memberi nafkah itu artinya bukan sekedar membiayai keperluan rumah tangga, tapi lebih dari itu, para suami harus 'menggaji' para istri. Dan uang gaji itu harus di luar semua biaya kebutuhan rumah tangga.
Yang sering kali terjadi memang aneh, suami menyerahkan gajinya kepada istri, lalu semua kewajiban suami harus dibayarkan istri dari gaji itu. Kalau masih ada sisanya, tetap saja itu bukan lantas jadi hak istri. Dan lebih celaka, kalau kurang, istri yang harus berpikir tujuh keliling untuk mengatasinya.
Jadi pendapat Syeikh Al-Qaradawi itu bisa saja kita terima, asalkan istri juga harus dapat 'jatah gaji' yang pasti dari suami, di luar urusan kebutuhan rumah tangga.
Perempuan Dalam Islam Tidak Butuh Gerakan Pembebasan
Kalau kita dalami kajian ini dengan benar, ternyata Islam sangat memberikan ruang kepada wanita untuk bisa menikmati hidupnya. Sehingga tidak ada alasan buat para wanita muslimah untuk latah ikut-ikutan dengan gerakan wanita di barat, yang masih primitif karena hak-hak wanita disana masih saja dikekang.
Islam sudah sejak 14 abad yang lalu memposisikan istri sebagai makhuk yang harus dihargai, diberi, dimanjakan bahkan digaji. Seorang istri di rumah bukan pembantu yang bisa disuruh-suruh seenaknya. Mereka juga bukan jongos yang kerjanya apa saja mulai dari masak, bersih-bersih, mencuci, menyetrika, mengepel, mengantar anak ke sekolah, bekerja dari mata melek di pagi hari, terus tidak berhenti bekerja sampai larut malam, itu pun masih harus melayani suami di ranjang, saat badannya sudah kelelahan.
Kalau pun saat ini ibu-ibu melakukannya, niatkan ibadah dan jangan lupa, lakukan dengan ikhlas. Walau sebenarnya itu bukan kewajiban. Semoga Allah SWT memberikan pahala yang teramat besar buat para ibu sekalian. Dan semoga suami-suami ibu bisa lebih banyak lagi mengaji dan belajar agama Islam.
Wallahu a'lam bishshawab, wassalamu 'alaikum warahmatullahi wabarakatuh,
Ahmad Sarwat, Lc
sumber : http://www.warnaislam.com/syariah/pernikahan/2008/10/29/40320/Benarkah_Istri_Tidak_Wajib_Masak_dan_Mengurus_Rumah.htm
hahahaha.... langsung diposting :D
ReplyDeleteQuoted,
ReplyDeleteYang sering kali terjadi memang aneh, suami menyerahkan gajinya kepada istri, lalu semua kewajiban suami harus dibayarkan istri dari gaji itu. Kalau masih ada sisanya, tetap saja itu bukan lantas jadi hak istri. Dan lebih celaka, kalau kurang, istri yang harus berpikir tujuh keliling untuk mengatasinya.
Kasian ya bagian tujuh-kelilingnya..kalo suami kooperatif sih bisa diajak rembukan mikir, kalo yang ga toleran bisa2 langsung mandang bodoh, kok ya ga pinter megang duit dr suami..sigh. Ada pandangan bahwa istri yg pintar me-manage uang dari suaminya (padahal pas-pasan banget jumlahnya) itu berarti dia hebat untuk ngurus urusan financial. Gitu tuh ul, tapi kalo suaminya medit n gamau ngasi lebih gimana jg ya, jadi bukan karena memang duitnya ga berlebihan buat nambahin uang belanja istrinya, cuma ngirit-ritnya aja rada kebangetan..hihihihi
@dindun
ReplyDeleteiya..gregetan sih klo masih ada aja cowok yg komen macem2.
@mb nyun
Idealnya sih ya berembug bareng2 mbak..
Klo suaminya gak mau ngasih lebih itu yg bikin sebel, kasih list aja kebutuhan RT trus minta suami yg ngehandle semua sendiri :p.
Makanya lebih enak punya penghasilan sendiri. Xixixixi
hehehehe ke doha yuk mba din? cari di sono... mumpung kita belom telat :D grakgrkagrak :D
ReplyDeleteMendingan gausah kawin kl gitu..
ReplyDeleteAman.. :D
ni yg komen diatasku contoh bapak2 gamau repot..hiahahah *piss ah boss, kalo ternyata fakta gw jgn ditabok :P*
ReplyDeleteassalamu'alaikum wr. wb
ReplyDeletebuat kaum wanita, hati2 terhadap artikel2 yang menyesatkan seperti ini...
emang kewajiban suami untuk memberi nafkah utk rumah tangganya (istri dan anak), dan kewajiban istri adalah melayani dan patuh kepada suami, serta memelihara anak2nya (banyak koq alquran dan hadits yang secara jelas menyatakan hal ini)!!!
jadi hati2 ya terhadap penyesatan seperti artikel di atas... (kalo kita mau bener2 jadi orang islam dan ingin dapat tuntunan/hidayah dari Allah SWT) pelajari aja Al-quran dulu sebagai pedoman kita, Nabi kita juga yang di syi'arkan ke umatnya adalah Alquran, bukan pendapat para mazhab2 yang nyata2 cuma orang biasa, dan di quran orang2 pembuat mazhab apapun gak jamin bebas dari dosa dan gak dijamin masuk surga, kecuali para nabi apalagi nabi kita Muhammad SAW.
hati2lah terhadap penyesatan...
Para suami mesti jadi suami yang baik yah.. yang menjadi contoh bwt anggota keluarganya.. karena keutuhan rumah tangga dan selamatnya keluarga dari siksa api neraka adalah benul eh betul tanggung jawab suami sebagai kepala rumah tangga, disamping kewajiban tiap masing2 individu tergantung amal dan dosanya gitu...
dan buat para istri.. jadi istri yang baik ya.. yang patuh ama suami (kecuali suami mengajak pada hal yang tidak baik dan kemusyrikan), juga para ibu mesti sayang dan didik anak2nya agar jadi anak2 yang soleh dan berguna bagi agama dan orang tua, dan orang lain.. OK!!!
adalah sudah fitrah dan naluri seorang ibu/wanita untuk penuh dengan rasa kasih dan sayang.. kalo justru suami yang mengurus semua tugas istri dan rumah tangga, apalagi sampe ngurus anak (ato cari pembantu).. kynya istilah surga ada di telapak kaki ibu udah gak berlaku, surga akan berada di telapak kaki bapak, dan juga akan ada hari bapak bukan hari ibu, (ini cuma intermezo aja :D)
INGAT!!! pelajari aja quran dan hadits dulu... itu pedoman utama ya..
wassalamu'alaikum wr wb...
aslm, saya seorang istri dan ibu dari 3 anak, juga seorang wirausaha,... suami saya juga wirausaha yg hampir sama dengan saya, saya di wedding, dan suami di photography, juga bekerja sebagai tenaga honorer. kami berdua pernah mendengar keterangan dari guru ngaji kami, yaitu benar bahwa tdk ada kewajiban istri mencuci, memasak,dll, akan tetapi istri wajib taat kepada suami, yakni ketika suami meminta tolong untuk menyiapkan air, atau makan dll, istri wajib patuh, dengan dilandasi rasa kesadaran dari kedua belah pihak
ReplyDeletememang berat menjadi ibu rumah tangga yg mengurus segala macam keperluan rumah tangga apalagi dengan 3 orang anak yg masih kecil2.. rasanya lelah sekali, terkadang ketika suami pulang dan minta dilayani baik segala keperluannya secara manusiawi ada rasa kesal karena koq suami g ngerti saya sedang sangat sibuk mengurus anak2 tp dia menyuruh ini itu,.. tapi mungkin suami jg sangat lelah dengan segala pekerjaannya di kantor.
susah sekali mengatur waktu yg harus dikerjakan secara bersamaan, antara rumah tangga dan pekerjaan yg memang sangat dibutuhkan untuk menambah penghasilan keluarga,..
alhamdulillah suami memberikan ijin dan kebebasan saya untuk berwirausaha, dan menyewa jasa pembantu meskipun gaji suami tidak cukup untuk memenuhi gaji pembantu, tapi alhamdulillah saya memiliki keyakinan bahwa rizki yg saya dapatkan adalah berkat doa dan ridho suami... hanya saja sebagai manusia biasa saya harus tawakal dan sabar dalam menghadapi bisikan syaitan yg kadang membelokan niat baik saya...
sebagai seorang ibu dan istri saya berharap para suami mau memahami beratnya beban dan tanggung jawab mengurus rumah tangga, keuangan, anak dan mengurus suami,..
dan kepada para istri dan ibu, bersabarlah dan berjuanglah, karena tidak ada yg sia2 pengorbanan dan perjuangan kita selama niat kita karena Allah semata... meskipun berat, tapi ini hanya sementara,.. pada akhirnya kita semua akan kembali pada-Nya